PERBANDINGAN ISTINBATH HUKUM IMAM AS-SYAFI’I DAN IMAM HANBALI



MAKALAH FIQH MUAMALAH

Dosen : sak karep e

Disusun oleh :
dfsdgfsgfdhghfghgf
PMH SEMESTER III

FAKULTAS BLOGGER
Kampus mahaguru
DUNIA DAN ANGKASA
2010





BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Empat Imam, masing-masing adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-syafi’I dan Ahmad bin Muhammad bin hanbal adalah para pendiri empat Madzhab Fiqh yang teersebar luas diseluruh penjuru dunia dan masyhur dikalagan umat sejak dulu hingga sekarang. Mereka telah meretas jalan bagi embrio pertumbuhan fiqh Islam sejak awal prkembangan Islam hingga masa kejayaan Imam-imam Madzhab.
Namun, dalam melakukan Istinbath diantara para Imam Madzhab selalu berbeda antara madzhab yang satu degan madzhab yang lainnya. Oleh karena itu, penulis akan membahas tentang perbandingan istinbath antara Istibath Madzhab As-Syafi’I dengan Madzhab hanbali.











BAB II
PEMBAHASAN
PERBANDINGAN ISTINBATH HUKUM IMAM AS-SYAFI’I DAN IMAM HANBALI

  1. Biografi Imam Asy-Syafi’i
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muttalib (ayah Abdul Muttalib kakek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada Abdi Manaf. Beliau bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam1.
Kelahiran
Imam Al-Baihaqi menyebutkan,”Imam Asy-Syafi’I dilahirkan dikota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.2
Ibnu Hajar menambahkan,” Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di kota Asqalan. Ketika berusia dua tahun ibunya membawanya ke Hijaz dan hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Diusia 10 tahun, Ibnu Hajar menambahkan,”Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di kota Asqalan. Ketika berusia dua tahun ibunya membawanya ke Hijaz dan hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Diusia 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan leyap.3
DASAR-DASAR IMAM ASY-SYAFI'i DALAM MENETAPKAN AQIDAH (ISTINBATH HUKUM)
Sebagaimana para ulama salaf lainnya, Imam Asy- Syafi’i membuat beberapa landasan (Kaidah) dalam menetapkan Kaidah di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Kaidah pertama: Iltizam (komitmen) terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dan mendahulukan keduanya dari akal.
Mengambil lahiriyah Al-Qur’an dan sunnah dan menjadikan keduanya sebagai landasan dan sumber dalam menetapkan aqidah islamiyah. Apa yang ditetapkan oleh keduanya maka wajib diterima dan apa yang dinafikan oleh keduanya wajib untuk ditolak, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Aku beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan aku beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa Salam dan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam4 ”.
Kedudukan As-Sunnah menurut Imam Syafi’i dan bantahan beliau terhadap orang yang mengingkar sunnah sebagai hujjah.
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Semua yang datang dari sunnah merupakan penjelasan dari al-Qur’an. Maka setiap orang yang menerima Al-Qur’an, maka wajib menerima sunnah Rasulullah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan hamba-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berarti ia telah menerima apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia telah mewajibkan kita untuk mentaatinya5”.
Beliau berdalil dengan sejumlah ayat diantaranya
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah.
  1. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam dan menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
  2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan lapang dada dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan hukum- hukumnya.
  3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk menjelaskan globalitas isi Al-Qur’an.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits mutawatir6. Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.
Adapun kriteria hadits yang diterima oleh Imam
Asy-Syafi’i adalah:
  • Sanadnya bersambung (tidak terputus).
  • Para perawinya adil.
  • Perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya).
  • Selamat dari syudzuz (riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah).
  • Selamat illat (cacat) yang membuatnya tercela.
Dengan demikian selama hadits itu shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka Imam Asy- Syafi’i akan menerimanya. Ketika ditanya tentang, sebagaimana jawaban beliau ketika ditanya oleh Sa’idbin Asad tentang hadits ru’yah (salah satuhadits ahad), beliau berkata,” Hai Ibnu Asad, hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak mengikuti hadits shahih yang datang dari Rasulullah, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung”.
Dengan demikian, maka Imam Asy-Syafi’i mewajibkan menggunakan hadits Ahad dalam seluruh perkara agama, dengan tidak ada pembedaan baik dalam masalah aqidah atau lainnya. orang yang menolak hadits ahad tanpa alasan yang dibenarkan, merupakan satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.
  1. Kaidah kedua: Menghormati pemahaman sahabat dan mengikutinya.
Imam Asy-Syafi’i berkata,” Selama orang mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika keduanya tidak ada, kita harus mengambil ucapan para sahabat atau salah satu dari mereka atau ucapan para imam seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ucapannya lebih patut diambil dari yang lainnya.
Ilmu itu bertingkat-tingkat, di antaranya:
  1. Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih.
  2. Ijma’ (konsensus/ kesepakatan) para ulama terhadap masalah yang tidak ada ayat atau haditsnya.
  3. Ucapan sebagian sahabat yang tidak ditentang oleh seorangpun dari mereka.
  4. Ikhtilaf para sahabat dalam masalah tersebut.
  5. Qiyas terhadap sebagian tingkatan, tidak boleh mengambil selain Al-Kitab dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu itu hanya diambil dari yang lebih tinggi7.
  1. Kaidah ketiga: Menjauhi pengikut hawa nafsu, pelaku bid’ah ahli kalam dan mencela mereka.
Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu. Sedangkan menurut istilah, bidah berarti cara baru dalam agama(yang belum ada contoh sebelumnya yang menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan dan berlebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala8.
Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:
  1. Perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah dhalalah.
  2. Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela.
Inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah mazmumah (tercela/ buruk). Bidah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan baik, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah ialah tercela dan buruk9
  1. Biografi Imam Hanbali
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hanbal, dinisbahkan pada kakeknya, sehingga mazhabnyapun oleh kaum Muslimin masyhur dengan sebutan mazhab Hanbali. Ketika meneliti silsilah keluarga dan nasab Imam Ahmad, beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad saw pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Beliau adalah keturunan Rabi’ah bin Nizar, sementara Nabi saw adalah keturunan Muzhar bin Nizar.
Meskipun dilahirkan di Baghdad, Irak, kedua orang tua beliau berasal dari Marw, satu wilayah di Khurasan. Mereka kemudian pindah ke Baghdad. Kepindahan tersebut terjadi ketika ibunya sedang mengandung Ahmad bin Hanbal. Tiga tahun setelah kelahirannya, ayahnya, Muhammad bin Hanbal, wafat. Sejak saat itu, Ahmad bin Hanbal dibesarkan oleh ibunya.
Meskipun hidup dalam keadaan yatim dan dalam lingkungan keluarga yang miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah, sejak kecil Imam Ahmad telah memulai riwayat pendidikannya. Dalam suasana serba kekurangan, beliau gigih menuntut ilmu, sehingga dalam usia 14 tahun beliau telah menghafal Al-Qur’an keseluruhannya. Karena kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu, beliau memulai safari ilmiahnya sejak berusia 16 tahun. Beliau pergi ke Makkkah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan negara-negara lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi.
Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa’id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki’ bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i) dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dan lain-lain. Dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
Dari hasil kegigihan Ahmad bin Hanbal melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu dapat dilihat dari karyanya yang masyhur dikenal dengan nama Al-Musnad. Karya ini adalah sebuah ontologi hadits-hadits Nabi Muhammad yang disusun berdasarkan urutan nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut. Di dalam karya ini, terdapat sekitar 30.000 hadits yang disusun berdasarkan klasifikasi sahabat-sahabat Nabi saw. Klasifikasi tersebut dimulai dari hadits-hadits sepuluh sahabat yang telah direkomendasi oleh Nabi Muhammad untuk masuk surga, sahabat-sahabat senior di luar sepuluh sahabat tersebut, sahabat-sahabat yang tergolong ahlu bait nabi, sisa sahabat-sahabat senior, juga sahabat-sahabat yang berdiam di Makkah-Madinah-Syam-Kufah, sisa sahabat-sahabat Anshar, sampai kemudian ditutup dengan hadits-hadits dari para sahabat nabi yang berasal dari kabilah-kabilah di luar Makkah dan Madinah.
Karya-karya beliau yang lain mencakup, Tafsir al Qur’an, An Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al Qur’an, Jawabat al Qur’an, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash Shaghir, Tha’atu Rasul, Al ‘Ilal, Al Wara’ dan Ash Shalah.
  1. Kekhususan Fiqih Hanbali dalam menetapkan hukum (Istinbath Hukum)
Sumber utama pengambilan dalil dalam istinbath (penetapan) hukum dalam Mazhab Hanbali adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ulama-ulama dalam mazhab ini tidak mengenal adanya perbedaan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya saling mendukung dan saling menetapkan. Pemisahan antara keduanya adalah kesesatan dan bagi siapa saja yang melakukannya akan mendapat permusuhan yang keras dari mazhab ini. Bagi mazhab ini segala sesuatu yang diputuskan (difatwakan) sahabat Nabi saw dan para fukaha adalah juga merupakan hujjah (dalil/bukti). Mereka pun menetapkan kebolehan berdalil dengan hadits-hadits yang berderajatdhoif dan mursal (selama berderajat tidak tertolak dan mungkar dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an). Selain itu ketika tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur’an, hadits shohih, perkataan para sahabat atau pendapat dari mereka dan riwayat-riwayat yang berderajat dhoif dan mursal, maka mereka memperbolehkan menggunakan kias (qiyas).
Kekhususan lainnya dari mazhab Hanbali adalah menetapkan disiplin yang ketat dalam pelaksanaan ibadah, muamalah dan thaharah (penyucian). Contohnya, pada pelaksanaan wudhu, mazhab ini mewajibkan untuk berkumur-kumur dan istinsyah (menghirup air lewat hidung).
  1. Akidah dan Kalam (Teologi) Mazhab Hanbali
Disebabkan Imam Ahmad dan para pengikutnya berpegang teguh hanya pada teks-teks hadits maka sulit untuk menjelaskan pendapat beliau tentang ilmu kalam (teologi). Karenanya dalam persoalan akidah, sepenuhnya menyandarkan pendapatnya pada Al-Qur’an dan As Sunnah dan cenderung menyalahkan pandangan lain. Misalnya dalam masalah ma’rifatullah (pengenalan terhadap Tuhan) khususnya pada pembahasan sifat-sifat Allah mereka cenderung menyalahkan pendapat Jahmiyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan para pengikut mereka.
Dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal kalam (perkataan) Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an bukanlah makhluk. Sikap keteguhan dan ketegasannya memegang pendapatnya bahwa Al-Qur’an bukan makhluk menyebabkan beliau dijebloskan ke penjara. Saat itu kekhalifaan Abbasiyah menetapkan paham Mu’tazilah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Beliau berada di penjara selama tiga periode kekhalifahan yaitu al Makmun, al Mu’tashim dan terakhir al Watsiq.
Setelah al Watsiq meninggal dan digantikan oleh al Mutawakkil yang arif dan bijaksana maka Imam Ahmad pun dibebaskan. Begitu juga dalam persoalan ru’yat (melihat Allah), bagi beliau adalah sesuatu yang harus diterima, karena diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa kelak di akhirat manusia diberi kemampuan untuk bisa melihat Allah SWT. Pada masa kini, mazhab Hanbali di antara keempat mazhab lainnya adalah mazhab yang paling sedikit pengikutnya. Namun ulama dari mazhab ini, tidak lagi menyebut diri mereka sebagai Hanbali namun memperkenalkan diri sebagai pengikut salafi ataupun Wahabi. Karena Abdullah bin Abdul Wahab yang mencetuskan paham Wahabi akar pemikirannya berasal dari prinsip-prinsip pemikiran Ahmad bin Hanbal.
















BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa istinbath hukum antara imam as-syafi’I dan imam hanbali adalah sebagai berikut :
  • Mazhab Syafii :
  1. Al-Qur'an
  2. Hadis mengutamakan ketsiqohan rawi
  3. Ijma'
  4. Qiyas
  5. Hadis dhaif.
  6. Qoul Sahabi
  • Mazhab Hanbali :
  1. Al-Qur'an
  2. Hadis
  3. Ijma'
  4. Hadis dhaif
  5. Qoul Sahabi
  6. Qiyas









Daftar Pustaka

Fikih Tathbiqi, Sa’id Manshuri (Aarani)
Chohor Imam Ahli Sunnah wa Jamaat, Muhammad Ra’uf Tawakulli
Tarikh Firqah Islami Jilid I, DR. Husain Shahabari
Al Ammah Al Arba’ah, DR. Ahmad Asy-Syarbaashi
Tahqiq dar Tarikh wa Falsafah Mazahib Ahlu Sunnah, Yusuf Fadhai
Sejarah & Keagungan MADZHAB SYAFI’I, K.H Siradjuddin Abbas
http://books.google.co.id/books?id=kCjpVK9fwn4C&pg=PA168&lpg=PA168&dq=istinbath++madzhab=istinbath%20%20madzhab%20hanbali&f=false
1 Manaaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi, 1/472
2 Ibid, 2/71
3 Tawaali At-Ta’sis, hal. 51
4 Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, IV/2, VI/354
5 Al-Risalah, hal. 32-33
6 Syarah Nukhbatul Fikar, Ibnu Hajar AL-Asqalani hal. 4-8
7 Kitab Al-Umm, 5/265
8 Kitab Al-‘Itisham, I/36
9 Hilyah al-Auliya’, 9/113, dan Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15