Pendahuluan
Allah menurunkan agama Islam kepada
umat-Nya disertai dengan aturan-aturan (hukum). Aturan-aturan (hukum) tersebut
dibuat oleh Allah agar manusia selamt hidup di dunia sampai ke akhirat kelak. Agama
(Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan
wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat
Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad, s.a.w. Wahyu yang
diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum
yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal
dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu
(ayat al-Qur’an)1.
Namun apabila Allah tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk
menyelesaikan persoalan hukum (tertentu) yang sedang dihadapi oleh umat Islam
kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad, menggali hukumnya (istinbath),
kemudian hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan
al-Sunnah (qauliyah, fi’liyah dan taqriyah).
Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam semasa Nabi Muhammad s.a.w.,
hidup hanya dua yaitu, al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi sebagai empirisasi dari
wahyu Allah. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad s.a.w., meluasnya wilayah
kekuasaan Islam, terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan
banyaknya para sahabat yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat
tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala masalah (hukum) yang sedang
dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut,
para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan
hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena
para sahabat sangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad. Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak
dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggapijma’ para sahabat. Sebaliknya, jika
hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut dibantah
oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat
dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya
pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum)
tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam pada masa sahabat
hanya tiga yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Seiring dengan
berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka otoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan seterusnya. Setelah masa
sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh
umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, al- Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena
persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan
persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan
hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishabImam Ahmad bin Hambal
dan lain sebagainya. Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian
besar ulama dan umat Islam karena berdasarkan kepada nass-nass (al-Qur’an dan atau al-Sunnah)
tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang
keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’para
sahabat2.
Sedangkan metode istinbath hokum yang lainnya, termasuk maslahah-mursalah atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik
selalu diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas penganut mazhab
asy-Syafi’iyah3.
Untuk itu tulisan ini mencaba menguraikan, pertama apa yang dimaksud dengan maslahah-mursalah? Kedua, mengapa maslahah-mursalah ditolah oleh sebagian umat Islam
sebagai salah satu metode istinbath hukum? Ketiga, apa saja persyaratan dan ruang
lingkup operasional maslahah-mursalah agar dapat diterima sebagai hujjah?
Diskursus tentang
Maslahah-Mursalah
Teori maslahah-mursalah atau istislah sebagaimana disebutkan di atas,
pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik.
Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka
setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahah mursalah kepada Imam Malik4,
sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa teori maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh
ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah yaitu Imam al-Haramain al-
Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan menurut beberapa hasil
penelitian, ahli usul fiqih yang paling banyak membahas dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang
dikenal dengan sebutan hujjatul Islam5.
Imam Malik oleh penulis muslim digolongkan ke dalam golongan sahabat kecil,
karena di waktu kecilnya, dia sempat bertemu dengan Rasulullah. Imam Malik
merupakan salah seorang imam mujtahid yang empat (Malik, Hanafi, asy-Syafi’i
dan Hambali) yang sempat bertemu dan belajar banyak kepada para sahabat Nabi.
Imam Malik tinggal di Madinah, pusat pemerintah Islam waktu itu. Karena Madinah
merupakan pusat pemerintahan Islam dan tempat tinggalnya Nabi setelah hijrah
dari Makkah, maka Madinah dikenal pula dengan sebutan kota hadist. Dalam rangka
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh masyarakat
muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an, dan jika
tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka Imam Malik mencarinya di dalam
as-Sunnah Nabi6,
dan apabila di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ditemukan, maka dia
mendasarkan pendapatnya kepada ijma’ para sahabat, dan apabila ijma’ para sahabat tidak ada mengenai
masalah (hukum) tersebut, maka Imam Malik mengaggali hukum (istinbath)
dengan cara ber-ijtihad. Sedangkan metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Malik dalam
rangka menggali hukum (istinbath) ada dua yaitu; qiyasdan istislah atau maslahah-mursalah. Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh
Imam Malik apabila ada nass tertentu, baik al-Qur’an maupun
as-Sunnah yang mendasarinya.
Metode istislah atau maslahah-mursalah dipraktekkan oleh Imam Malik
apabila masalah(hukum) yang sedang dihadapi, tidak ada satupun nass yang mendasarinya, baik yang
membenarkan maupun yang melarangnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu, Imam
Malik menggunakan metode maslahah-mursalah dalam men-takhsis ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat
umum7.
Dan yang menjadi bahasan di sini hanya metode istislah atau maslahah-mursalah. Lalu apa yang dimaksud dengan maslahah-mursalah?
Pengertian
maslahah-mursalah
Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia
dikenal dengan maslahat,berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara
etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan8. Maslahah merupakan bentuk masdar (adverd) dari fi’il (verb) salaha. Dengan demikian terlihat bahwa,
kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal
dari Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang sama.
Sedangkan menurut istilah atau
epistemology, maslahah diartikan oleh para ulama Islam dengan
rumusan hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan, maslahah adalahal-marodu
bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala maqsudi-syar’i
bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu
memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang
merugikan diri manusia (makhluq). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa
tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan
keturunan atau kehormatan. Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas,
al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memlihara
tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam, sedangkan
tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas.
Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal diatas
disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya
disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah9.Sedangkan
menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling
popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah
mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak
ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan
tindakan syara’10.
Berdasarkan beberapa buah definisi di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath)
Islam, namun tidak berdasarkan kepada nass tertentu, tetapi berdasarkan
kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqosid asysyari’ah).
Penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqosid
asy-syari’ah merupakan salah
satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kaidah
kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan penetapan
hukum Islam melalui pendekatan maqosid
asy-syari’ah dengan penetapan
hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka penetapan hukum Islam
melalui pendekatan maqosid
asy-syari’ahdapat membuat hukum Islam lebih flexible, luwes karena pendekatan ini akan
menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sementara pengembangan
hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa
flexibelitas hukum Islam.
Hukum Islam akan kaku (rigid),
sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya11.
Dengan pemahaman seperti di atas, seharusnya maslahah-mursalah yangnota-bene-nya merupakan
salah satu metode istinbath hukum yang menggunakan pendekatan maqosid asy-syari’ah, mestinya dapat diterima oleh umat
Islam sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Tetapi mengapa masalah mursalahtidak diterima
oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut mazhab asy- Syafi’iah
sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang
mereka ajukan di antaranya yaitu;
·
Pertama, masalahat itu ada yang
dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolakoleh syara’ dan ada pula yang diperselisihkan.
Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak
oleh syara’) tidak ada
pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima
sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak
sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga
diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan
sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat
kategori ketiga inilah yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian
menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum
Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan
hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan.
·
Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum
Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya mengikuti
keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat
dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan
hawa nafsu.
·
Ketiga, bagi golongan ini, hukum
Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai dasar
dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip
kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hokum Islam belum lengkap dan
sempurna, masih ada yang kurang.
·
Keempat, memandang maslahat
sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya
perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan
perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip
universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam12.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh
sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai
dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan.
·
Pertama, dengan memandang
maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan
penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut
ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah
menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi al-‘amal biz-zann, beramal berdasarkan kepada zanndianggap cukup karena semua
fiqih adalah zann. Dengan demikian tidak dapat
dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan
tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dengan maslahat yang ditolak oleh syara’, maka maslahat yang
dibenarkan oleh syara’ jauh lebih banyak jumlahnya dari
pada maslahat yang ditolak oleh syara’.
Dengan demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang
membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus digolongkan ke
dalam maslahat yang lebih banyak.
·
Kedua, tidak benar kalau
penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam
berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu (bahasan dibawah). Jadi tidak asal maslahat.
Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
·
Ketiga, Islam memang telah
lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu
adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti
semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-masalah baru
yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi baru
diketahui setelah digali melalui ijtihad.
·
Keempat, tidak benar kalau
memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas,
keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi
justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip
universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat
dibuktikan13.
Dengan demikian terlihat bahwa beberapa
alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam, sama sekali tidak logis dan tidak realistis. Sebagaimana
disebutkan di atas, maslahat tersebut ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang tidak
dibenarkan oleh syara’ dan ada pula yang diperselisihkan,
artinya tidak diketahui, apakah dibenarkan atau ditolak oleh syara’. Dalam hal ini para ulama
berkonsensus, bahwa maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan hukum Islam, dan maslahat yang ditolak oleh syara’ tidak dapat dijadikan sebagai
dasar dalam menetapkan hukum Islam. Sedangkan masalahat kategori ketiga, hal
inilah yang diperdebatkan oleh umat Islam, dan sebagaimana disebutkan di atas,
inilah yang menjadi kajian dari teori maslahahmursalah, karena itu sebagain ulama
(pendukung teori maslahah-mursalah)
membuat persyaratan
penggunakan maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum Islam, di samping itu mereka juga membuat
rung lingkup operasional maslahah-mursalah.
Persyaratan dan Ruang
Lingkup Maslahah-Mursalah
Agar maslahah-mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam
menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali,
asy-Syatibi fan at-Tufi membuat rersyaratan dan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah. Persyaratan
yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya
mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah
ini.
Al-Ghazali membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar
dalam menetapkan hukum Islam; pertama, maslahat tersebut harus sejalan
dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta
dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
Ketiga,maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zann yang mendekati qat’i. Kelima,dalam kasus-kasus
tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah14.
Berdasarkan persyaratan operasional yang
dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak
memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri
sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan
sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak disebutkan oleh Imam
al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad Munif Suratmaputra terhadap contoh-contoh kasus maslahahmursalah yang dikemukakan oleh Imam
al-Ghazali dalam buku-bukunya (al- Mankhul,
Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam
al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah
saja15.
Agak berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua kriteria agar
maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Maslahat
tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena itu maslahat yang
sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau yang berlawanan dengan dalil syara’ (al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’) tidak
dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.
Maslahat seperti kriteria nomor satu di
atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang
menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk dalam kajian qiyas16. Jika dibandingkan persyaratan yang
dibuat oleh Imam al-Ghazali dengan persyaratan yang dibuat oleh asy-Syatibi di
atas, maka persyaratan yang dibuat oleh asy-Syatibi jauh lebih longgar. Ini
merupakan suatu hal yang wajar karena asy-Syatibi termasuk golongan ulama
penganut mazhab malikiyah yang sering menjadikan maslahat sebagai dasar
penetapan hukum Islam. Al-Ghazali dan asy-Syatibi juga berbeda dalam memandang maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam. Al-Ghazali memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang tidak berdiri
sendiri, sebaliknya asy-Syatibi malah memandang maslahah-mursalah sebagai dalil hukum yang beridiri
sendiri. Asy-Syatibi berpendapat demikian karena metode istislah atau maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum Islam tidak
berdasarkan kepada nass tertentu, tetapi hanya berdasarkan
maslahat yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum syara’17.
Sedangkan mengenai ruang lingkup operasional
maslahah-mursalah, asy-Syatibi dan Imam al-Ghazali mempunyai pendapat yang
sama, yaitu hanya berlaku dalam bidang muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang
ibadah. Begitu juga dengan at-Tufi yang dianggap sebagai orang yang paling
berani dan paling kontropersi pendapatnya tentang maslahat (bukan
maslahah-mursalah), dia juga menetapkan bidang muamalah dan sejenisnya sebagai
ruang lingkup operasional maslahah- mursalah. Menurut at-Tufi maslahat tidak
berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun
pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;
1. Akal
manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahat dan mana mafsadat. Karena
akal manusia dapat membedakan mana maslahat dan mana yang mafsadat.
2. Maslahat
menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.
3. Lapangan
operasional maslahat sebagaimana disebutkan di atas, hanya dalam bidang
muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod
4.
Maslahat merupakan dalil hukum Islam yang
paling kuat, karena itu menurut at- Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan
atas nass danijma’ ketika terjadi pertentangan di
antara keduanya.18
Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, pengutamaan maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi
dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah
atas al-Qur’an dengan jalan bayan.19
Dengan demikian terlihat bahwa ulama-ulama besar, baik dari
kalangan mazhab Malikiyah maupun dari kalangan asy-Syafi’iyah menerima
maslahahmursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam dengan persyaratan.
1.
Hukum
yang ditetapkan harus mengandung kemaslahatan.
2.
Maslahat
tersebut sejalan dengan maksud pembentukan hukum Islam, yaitu dalam rangka
memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan /kehormatan.
3.
Maslahat
yang kriterianya seperti pada poin kedua tersebut, tidak ditunjukkan lingkup
operasionalnya khusus dalam masalah muamalah dan adat, tidak berlaku di
bidang ibadah.
Namun sayangnya, dalam mengoperasionalkan maslahah-mursalah tersebut para ulama memakai istilah
yang berbeda-beda, bahka ada satu orang ulama misalnya Imam al-Ghazali memakai
beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah, sehingga berimplikasi kepada
ketidak-sempurnaan pemahaman generasi berikutnya mengenai pendapat ulama
terdahulu tentang masalah ini. Dalam kitab al-Mankul, Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan istilah istidlal sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia memakai istilah istislah, dan dalam kitab Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah munasib mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam al-Ghazali tetap menyebutnya
dengan istilah maslahah-mursalah. Karena Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan beberapa istilah, maka ada
pendapat yang mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam, pada hal bukan demikian. Imam asy-Syafi’i sebagai tokoh pendiri
mazhab asy-Syafi’iyah, karena dia menyebut maslahat tanpa pengakuan syara’ dengan istilah maslahah-mursalah, maka ada pendapat yang mengatakan
bahwa Imam asy-Syafi’i menolak maslahahmursalah sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam. Namun apabila kita memahami istilah tersebut secara luas, meliputi
maslahat yang sejenisnya diakui oleh syara’maka
dapat dikatakan bahwa Imam asy-Syafi’i tidak menolak maslahahmursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam.20
Dalam catatan yang lain ada pula pendapat
yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’i menolak maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan
hokum Islam, karena Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, menolak istihsan sebagai dasar penetapan hukum
Islam21.
Namun pendapat tersebut dibantah oleh Imam Haramain dan muridnya Imam
al-Ghazali yang nota bene-nya
juga sama-sama dari mazhabn asy-Syafi’iyah dengan cara menghadirkan beberapa
contoh hasil ijtihad Imam asy-Syafi’i berdasarkan
kepada maslahah-mursalah22.
Kalau kita melihat kepada hasil ijtihad para imam yang empat (Malik,
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali), banyak sekali penetapan hukum berdasarkan kepada
maslahat, bahkan penetapan hukum Islam berdasarkan kepada maslahat dilakukan
juga oleh sahabat Nabi. Karena itu sering ditemukan kemaslahatan dari hukum
Islam, baik yang ditetapkan berdasarkan metode qiyas, istihsan dan istishab maupun melalui metode istislah atau maslahah-mursalah. Dengan demikian benar apa yang
dikatakan oleh al- Qorafi bahwa imam mujtahid/mazhab yang empat mempergunakan maslahah- mursalah sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam23.
Adanya pendapat yang mengatakan para imam besar menolak maslahat sebagai dasar
menetapkan hokum Islam, disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memahami
beberapa istilah yang digunakan oleh para imam tersebut
Penutup
Maslahat terbagi tiga yaitu; yang
dibenarkan oleh syara’, ditolak oleh syara’ dan yang diperselisihkan. Ulama
telah berkonsensus, maslahat kategori pertama diterima sebagai hujjah dan
kategori kedua ditolak sebagai hujjah. Sedangkan maslahat kategori ketiga
diperselisihkan karena tidak ada dalil yang membenarkan maupun yang
melarangnya, dan inilah yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau
istislah. Sekelompok umat Islam menolak maslahah-mursalah sebagai hujjah dengan
alasan; menerima maslahah-mursalah kategori ketiga sebagai hujjah berarti
mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, dan ini
menodai kesucian hukum Islam. Penetapannya tidak berdasarkan kepada nass,
tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu dengan dalih maslahat. Dengan
demikian menyalahi prinsip Islam sudah lengkap dan sempurna. Pendapat di atas
dapat disanggah dengan beberapa alasan, memandang maslahat sebagai hujjah tidak
berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang diragukan, sebab
maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan. Tidak
benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode maslahah-mursalah berarti
menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat
dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi persyaratan
tertentu, tidak asal maslahat. Islam memang telah lengkap dan sempurna tetapi
yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna tersebut adalah pokok-pokok ajaran
dan prinsip-prinsip hukumnya. Tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah
sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan
hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunakan metode
maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum Islam, prinsip universalitas, keluasan
dan keluwesan hukum Islam dapat dibuktikan. Menerima maslahat sebagai hujjah
haruslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan
itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara
agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup
operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang
ibadah. Namun karena para ulama terdahulu memakai istilah yang berbeda untuk
maslahah-mursalah, maka timbul anggapan bahwa imam tertentu (al-Ghazali) tidak
konsisten menggunakan maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam,
bahkan di antara imam tersebut ada yang dianggap menolak (asy-Syafi’i) maslahat
sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Hallag, Weal B, (2002), A History of Islamic Legal Theories, Alih
bahasa E. Kusnadiningrat, Rajawali Press, Jakarta.
Keer, Malcom H., (1968), Moral and Legal Judgment Indevendent of
Relevation, Philosophy: East and West 18.
Mas’ud, Muhammad Khalid, (1977), Islamic Legal Philosophy: A Study
of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, Islamic Risearch Istitute,
Islamabad, Pakistan.
Munif Suratmaputra, Ahmad, (2002), Filsafat Hukum Islam
al-Ghazali: Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam,
Disertasi Pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Disterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta.
Nasution, Lamuddin, (2001), Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab
Syafi’i, Disertasi Pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatulah, Jakarta,
diterbitkan oleh Rosda Karya, Bandung.
Wahaf Khallaf, Abdul, (2003), Sejarah Pembentukan dan Perkembangan
Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta.
1 Asbabun-Nuzul, jika ditinjau
dari persfektif yuridis sangat membantu umat Islam untuk memecahkan persoalan
hukum yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dengan cara melakukan
interpretasi juridis-historis
2 Perkembangan hukum Islam
dapat dilihat Abdul Wahaf Khallaf (2003), Sejarah Pembentukan dan perkembangan
Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, hal 1-23.
3 Ahmad Munif Suratmaputra,
(2002), Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah-Mursalah dan Relevansinya
dengan Pembaruan Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, hal. 184.
4 Wael B. Hallag, (2000), A
History of Islamic Legal Theories, Alih bahasa E. Kusnadiningrat, Rajawali
Press, Jakarta, hal. 165-166.
5 Ahmad Munif Suratmaputra,
(2002), Op. Cit, hal. 63-64. Penulis sendiri cenderung dengan pendapat pertama
yang menyatakan teori maslahah-mursalah pertama kali diperkenalkan oleh Imam
Malik dan menjadi popoler di tangan Imam al-Ghazali.
6 Imam Malik (w. 97 H.)
menerima hadist-hadist ahad sebagai hujjah (sumber hukum Islam) yaitu apabila
hadist-hadist ahad tersebut sesuai dengan amalan dan prilaku masyarakat
Madinah. Namun jika hadist ahad tersebut tidak sesuai dengan amalan dan prilaku
masyarakat Madinah maka hadist ahad tersebut tidak diterima oleh Imam Malik
sebagai hujjah. Imam Malik membuat tolak ukur amalan dan prilaku masyarakat
Madinah untuk dapat menerima hadist ahad sebagai hujjah karena pada masa itu
sudah banyak berkembang hadist-hadist palsu di kalangan umat Islam. Imam Malik
menganggap masyarakat Madinah lebih tahu mengenai Sunnah Nabi karena mereka
tinggal satu kota bersama Nabi. Tolak ukur yang dibuat oleh Imam Malik tersebut
ditolak oleh Imam asy-Syafi’i, muridnya dengan alasan bahwa setelah
meninggalnya Nabi dan meluasnya wilayah kekuasaan Islam para sahabat Nabi telah
menyebar ke berbagai wilayah Islam.
7 Abdul Wahaf Khallaf, (2003),
Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, hal.
110.
8 Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1996), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet ke
2, hal. 634.
9 Malcom H. Keer, (1968), Moral
and Legal Judgment Indevendent of Relevation, Philosophy: East and West 18,
hal, 279.
10 Muhammad Khalid Mas’ud,
(1977), Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and
Thought, Islamic Research Institute, Islamabad, Pakistan, hal. 149-150.
11 Ahmad Munif Suratmaputra,
(2002), Op. Cit., hal. 104.
12 Ahmad Munif Suratmaputra,
(2002), Op. Cit., hal.80-81.
13 Ahmad Munif Suratmaputra,
(2002), Op. Cit, hal. 78-79.
14 Muhammad Khalid Mas’ud,
(1977), Op. Cit, hal. 149-150.
15 Ahmad Munif Suratmaputra,
(2002), Op. Cit, hal. 144.
16 Muhammad Khalid Mas’ud,
(1977), Op. Cit, hal. 162.
17 Ibid.
18 Malcom H. Keer, (1968), Op.
Cit, hal. 278.
19 Ahmad Munif Suratmaputra,
(2002), Op. Cit, hal. 90.
20 Lamuddin Nasution, (2001),
Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Disertasi pada Program Pasca
Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rosda Karya, Bandung, hal. 135.
21 Lamuddin Nasution meragukan
pendapat yang mengatakan Imam asy-Syafi’i tidak menerima istihsan sebagai dasar
dalam menetapkan hukum Islam, karena istihsan yang ditentang oleh Imam
asy-Syafi’i itu adalah tindakan menetapkan hukum menurut kemauan hati sendiri
tanpa kendali dan tanpa memperhatikan batas-batas yang ditetapkan syara’. Ibid,
hal. 111-112.
22 Contoh-contoh hasil ijtihad
Imam asy-Syafi’i berdasarkan kepada maslahah-mursalah dapat dilihat dalam empat
buku Imam al-Ghazali di atas, dan kemudian contoh-contoh tersebut dikutif oleh
Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 146.
23 Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op.
Cit, hal. 148.