BAB 4

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PELAKSANAAN PERUBAHAN HARGA JUAL BELI TEMBAKAU KARENA ADANYA BENCANA ALAM
 ( Di Desa Pangilen Sampang )

Untuk mempermudah analisis hukum Islam terhadap praktek perubahan harga jual beli tembakau karena adanya bencana alam  dalam hal ini, dibagi menjadi dua sub bahasan:

Akad Awal dalam Transaksi Jual Beli Tembakau
Ketetapan  Harga  yang di Tentukan pada Akad Awal Terjadinya Transaksi Jual Beli Tembakau

Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa dalam harga tembakau penjual dan pembeli  melakukan tawar menawar, kemudian pembeli menentukan hari untuk memanen tembakau, pembeli memanen tembakau selang waktu tiga hari kemudian, setelah terjadinya akad dengan membayar uang muka atau uang panjar kepada penjual.
Harga yang telah disepakati pada akad awal
Harga yang disepakati adalah harga yang telah ditentukan oleh pihak penjual di mana penjual telah menerima dengan harga tersebut, karena harga barang sudah dianggap sesuai dengan barang yang dipesan pembeli, dan hal ini tidak menyimpang dari hukum Islam, karena keduanya saling menjalin tolong menolong antar sesama manusia dan tidak ada unsur paksaan. Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Ma>idah ayat 2:
_ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ .....(٢)
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran._

 Dalam Nailul Authar di jelaskan bahwa yang dimaksud dengan penetapan harga adalah penguasa atau wakilnya memerintahkan kepada para pedagang agar mereka tidak menjual barang mereka kecuali dengan harga sekian, sedangkan mereka tidak mengambil atau mengurangi  ketentuan itu demi kemaslahatan bersama. Menurut sejumlah ulama’ fiqih, menetapkan harga itu ada sifat zalim dan terlarang serta ada pula yang bijaksana dan halal.
Oleh karena itu jika penetapan harga mengandung unsur kezaliman dan pemaksaan yang tidak betul ialah dengan menetapkan suatu harga yang tidak di terima atau melarang yang oleh Allah dibenarkan, maka jelaslah bahwa penetapan harga semacam itu hukumnya haram, dan jika penetapan harga dengan penuh keadilan, misalnya di paksanya mereka untuk menentukan kewajiban membayar harga
Dalam Islam dikenal adanya penentuan harga dan pemasangan nilai tertentu, sedangkan bentuk barang yang akan dijual oleh penjual tembakau dengan wajar, artinya penjual tidak z|alim dan tidak menjerumuskan pembeli karena pembeli menganggap sudah sesuai dengan barang yang dibelinya. Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa>’ ayat 29:_
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.

 Dari uraian di atas jual beli yang diperbolehkan oleh syara' adalah jual beli yang saling merelakan tanpa adanya kesamaran yang terdapat pada barang yang dijual. Barang dan harga yang akan ditawarkan itu harus jelas,
baik dari segi ketidaktahuan dari barang yang diakadkan atau penentuan akad itu sendiri.
Sebagaimana fuqaha' mengatakan bahwa menjual barang yang gaib tidak boleh menurut Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa menjual barang yang gaib adalah tidak boleh meski menyebutkan sifatnya._

Waktu pembayaran
Pembayaran dilakukan pada waktu terjadinya akad, setelah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli, namun ada pula pembayaran dilakukan setelah tembakau sudah dipanen, biasanya pembeli memberikan separuh harga atau uang muka sebagai jaminan atau dikenal dengan istilah uang panjar atau (PD), kemudian setelah tembakau di panen, pembeli melunasi kekurangan sejumlah uang yang belum dibayar kepada penjual. Mengenai jual beli sistem panjar beserta aspek yang meliputi tata cara pengaturan selama tidak bertentangan dengan hukum syara’ karena pada dasarnya segala sesuatu yang berhubungan dengan keduniaan adalah diperbolehkan. Sebagaimana kaidah us}uliyah, yang menyatakan:
_
Pokok hukum atas segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya._

Tujuan utama jual beli seperti ini adalah untuk saling membantu antara penjual dengan pembeli. Kadang kala barang yang dijual oleh penjual tidak memenuhi selera pembeli, dan untuk membuat barang sesuai dengan selera pembeli, produsen memerlukan modal. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa dalam melakukan pembayaran, pembeli membayar dengan tidak kontan yakni dengan sistem panjar dan hal ini tidak menyimpang dari hukum Islam, karena: Pertama, keduanya saling rid}a dan keduanya sudah mengetahui  serta sudah menentukan batas waktu yang jelas.  Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ .... (٢٨٢)
Wahai orang yang beriman apabila kamu bermu’a>malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya._

Kedua, panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya. Ketiga, tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan al-Khiyar al-Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu._Jual beli ini tidak dapat dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi antara untung dan buntung.
Syiekh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, ketidakjelasan dalam jual beli al Urbun tidak sama dengan ketidakjelasan dalam perjudian, karena ketidakjelasan dalam perjudian menjadikan dua transaktor tersebut berada antara untung dan buntung, adapun ini tidak, karena penjual tidak merugi bahkan untung dan paling tidak barangnya dapat kembali. Sudah dimaklumi seseorang penjual memiliki syarat hak pilih untuk dirinya selama satu hari atau dua hari dan itu diperbolehkan dan jual beli dengan uang muka ini menyerupai syarat hak pilih tersebut.
Hanya saja penjual diberi sebagian dari pembayaran apabila barang dikembalikan, karena nilainya telah berkurang bila orang mengetahui hal itu walaupun hal ini didahulukan namun ada maslahat di sana. Juga ada maslahat lain bagi penjual karena pembeli bila telah menyerahkan uang muka akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya. Demikian juga ada maslahat bagi pembeli, karena ia masih dapat memilih mengembalikan barang tersebut bila menyerahkan uang muka_



Perubahan Harga Jual Beli Tembakau yang telah di Sepakati karena Adanya Bencana Alam
Perubahan  Harga yang telah di Sepakati
Harga kesepakatan awal pembeli membeli tembakau seharga lima juta rupiah dengan memberikan uang muka atau DP sebesar tiga ratus ribu rupiah dan akan dilunasi setelah tembakaunya dipanen, kemudian pembeli menentukan hari panennya tiga hari setelah terjadi transaksi jual beli yang sah karena telah memenuhi sarat dan rukun dalam jual beli, sebelum hari yang ditentukan oleh pembeli untuk panen tembakaunya, terjadi hujan yang mengakibatkan daun tembakau rusak, sehingga pembeli menurunkan harga yang telah disepakati di awal lima juta rupiah menjadi dua juta rupiah.
Jika penjual mengembalikan sebagian harga, maka ia berhak mendapatkan harga selisih antara harga dalam keadaan cacat dengan haraga dalam keadaan tidak cacat jika pembeli enggan mengembalikan dan lebih memilih barang, maka penjual mengembalikan selisih antara harga dalam keadaan tidak cacat dengan harga dalam keadaan cacat yang terjadi di tangannya.
Tentang kerusakan barang dan hukumnya menurut pendapat imam Syafi’i dapat dilihat di bab dua halaman 24 poin a.
Termasuk pula dalam persoalan ini adalah jual beli dengan persekot Atau dikenal dengan istilah DP ( uang muka), Kebanyakan ulama Amshar jual beli tersebut tidak boleh.
Diriwayatkan dari segolongan tabiin bahwa mereka membolehkannya. Di antara mereka adalah Mujahid, Ibnu Sirin, Nafi’ bin al-Harits, dan Zaid bin Aslam.
Jual beli dengan persekot tersebut, jika seseorang membeli sesuatu dengan memberikan sebagian harga kepada penjual dengan syarat, apabila jual beli tersebut terjadi antara keduanya, maka sebagian harga yang telah diberikan itu termasuk dalam harga seluruhnya. Sedang jika jual beli itu tidak terjadi, maka sebagian harga yang telah diberikannya itu menjadi milik penjual dan tidak bisa dituntut kembali _

Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga yang di Sepakati
Hujan terjadi ketika pada waktu tembakau sudah siap dipanen atau tembakau sudah besar, sehingga hujan dapat mempengaruhi kualitas daun tembakau namun jika hujan terjadi pada waktu tembakau masih kecil maka tidak mempengaruhi terhadap kualitas daun tembakau, dengan adanya faktor cuaca yang tidak menentu sehingga terjadi hujan yang menyebabkan daun tembakau rusak dan berkurang zat kandungan nikotin yang ada dalam tembakau sehingga cita rasa di dalam daun tembakau berkurang, maka pembeli melakukan perubahan harga dengan cara menurunkan harga yang telah disepakati di awal tanpa persetujuan dari penjual, apa bila penjual tidak mau dengan keputusan pembeli maka pembeli tidak jadi membeli tembakau dengan alasan, jika pembeli masih tetap membeli dengan harga yang tinggi dengan harga yang disepakati di awal maka pembeli akan mengalami kerugian yang besar, karena tembakau yang sudah dibeli tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Sedangkan biaya untuk memasat ( mengiris tembakau) sampai menjadi setengah jadi berupa bahan rokok siap di olah membutuhkan biaya yang besar apa bila pabrik rokok tidak menerima bahan rokok yang mau disetor ke pabrik maka otomatis pembeli akan mengalami kerugian, untuk mengantisipasi hal itu maka pembeli menurunkan harga awal yang telah disepakati. Sehingga para petani banyak yang mengalami kerugian yang diakibatkan oleh hujan karena tembakau yang siap panen tidak laku di pasaran dengan harga yang tinggi, hasil panen tembakau tidak mahal lagi di pasaran bahkan tidak laku sama sekali, sehingga modal yang dikeluarkan untuk menanam tembakau tidak kembali.
Mengenai bencana dari langit yang menimpa buah seperti dingin, kekurangan air hujan atau kelebihan, dan busuk , dalam mazhab Maliki dinyatakan sebagai “bencana ” tanpa ada perbedaan pendapat. Juga tentang kekurangan air , adapun bencana alam yang menimpa karena perbuatan manusia, sebagai pengikut Malik menganggapnya sebagai bencana alam, sedangkan sebagian lainnya tidak menganggap  demikian. Mereka yang menganggap demikian terbagi menjadi dua pendapat. Sebagian mereka menganggap peristiwa yang pada galibnya terjadi sebagai “ bencana alam “ seperti kerusakan akibat perang. Tetapi tidak menganggap pengambilan pada waktu dini hari( pengambilan panen sebelum waktunya) itu sebagai bencana alam bagaimanapun juga keadaannya
Fuqaha yang menganggap bencana alam hanya terjadi pada perkara-perkara langit berpedoman pada hadis Nabi Saw.:
  ارأيت إن منع الله الثمرة
Bagaimana pendapatmu, Jika Allah menahan buah_
Sedangkan fuqaha yang menganggap bahwa bencana tersebut juga pada perbuatan-perbuatan manusia menyamakannya dengan perkara-perkara langit. Para ulama berselisih pendapat dalam hal pengguguran bencana alam terhadap buah-buahan.
Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa bencana alam dapat bisa dijadikan dasar bagi pemutusan perkara . tapi Abu Hanifah, Tsauri, dan Syafi’i dalam hal qaul Jadidnya, juga Al-Laits melarangnya._
Fuqaha yang menyatakan bahwa bencana alam bisa dijadikan dasar bagi pemutusan perkara, berpegang pada hadist Jabir r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
من با ع ثمر ا فأ صبته جا ئحة فلا يأ خذ من اخيه شيأ على ما ذا يا خذ احدكم مال اخيه
Barang siapa menjual buah, lalu bencana alam menimpa buah itu, maka hendaklah ia tidak mengambil suatu pun dari saudaranya (pembeli). Berdasarkan apa salah seorang di antara kamu mengambil harta saudaranya itu.

Hadis ini dikeluarkan oleh muslim dari Jabir r.a
Pegangan lainnya ialah hadis yang juga diriwayatkan oleh Jabir r.a berkata
أمر رسول الله صلى اله عاليه وسلم بوضع الجوائح
Rasulullah saw, menyuruh untuk menggugurkan bencana alam, (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dengan demikian, pegangan fuqaha yang membolehkan pengguguran bencana alam ialah kedua hadis riwayat Jabir tersebut. Juga qiyas sybih, lantaran fuqaha mengatakan bahwa buah tersebut adalah barang jualan, yang penjual harus menyempurnakannya, yakni harus menyiraminya hingga sempurna. Karena itu, tanggungan atas buah-buahan tersebut adalah dirinya sepertinya barang-barang jualan lain yang masih butuh penyempurnaan.
Menurut imam Malik, pembicaraan tentang dasar-dasar bencana Alam meliputi empat bahasan.
Sebab-Sebab yang Menimbulkan Bencana Alam
Mengenai bencana dari langit yang menimpa buah seperti dingin, kekurangan air hujan atau kelebihan, dan busuk, dalam mazhab Maliki dinyatakan sebagai bencana tanpa ada perbedaan pendapat.
Barang-Barang yang Tertimpa  Bencana Alam.
Barang-barang yang tertimpa bencana alam ialah buah-buahan dan sayur-sayuran. Tentang buah-buahan dalam mazhab Maliki tidak ada perselisihan, tetapi dalam sayur-sayuran masih diperselisihkan meskipun menurut pendapat yang lain masyhur dinyatakan terkena bencana. Silang pendapat dalam maslah sayur-sayuran karena perbedaan dalam menyamakannya dengan perkara yang pokok, yakni kurma._
Kadar yang di Hapuskan
Kadar yang terkena rencana alam pada kurma adalah sepertiga. Sedangkan mengenai sayur sayuran , dalam satu pendapat dinyatakan bahwa bencana itu menimpa jumlah yang banyak atau sedikit, dan menurut pendapat lainnya menimpa sepertiganya. Ibnu Qasim menganggap sepertiga kurma dengan takaran, sedang Asyhab menganggap sepertiga kurma tersebut dalam nilai. Maka bagi Asyhab jika hilang sebagian kurma yang bernilai sepertiga dari takaran, dihapuskan sepertiga harganya, baik mencapai sepertiga takaran atau tidak.
Alasan ulama Malikiyah untuk memegangi perkiraan dalam menggugurkan bencana alam meski hadis tentang hal itu bersifat mutlak adalah karena menurut kebiasaan, suatu yang sedikit dapat diketahui perbedaannya dengan yang banyak. Karena seperti dimaklumi (kerusakannya) sedikit itu dari tiap-tiap buah
Syafi’i berkata jika saya mengatakan yang sedikit dan yang banyak, dalam hal sepertiga menjadi pemisah antara yang sedikit dan yang banyak merupakan ketegasan wasit nabi saw. Dalam sabdanya:
الثلث والثلث كثير ( اخرجهالبخاري ومسلم )
Sepertiga, dan sepertiga itu banyak (HR. Bukhari dan Muslim )

Waktu Peletakan Barang Ketika Bencana Alam Terjadi.
Masa penentuan bencana alam telah disepakati dalam mazhab Maliki bahwa hal itu terjadi pada masa dibutuhkannya membiarkan buah-buahan di atas pohon, yakni saat di mana kebaikan buah-buahan itu diperlukan.
Kemudian para fuqaha berselisih pendapat dalam hal ini ketika pembeli membiarkan buah untuk dijual yang sedikit demi sedikit tampak membaik. Satu pendapat mengatakan, keadaan seperti itu dapat terkena bencana alam sebagai analogi dengan masa yang telah disepakati_namun dalam jual beli tembakau pihak pembeli yang melakukan penundaan waktu sehingga terjadi hujan atau bencana alam yang menimpa tembakau sehingga kualitas daun tembakau menjadi rusak.