HUKUM ISLAM TERHADAP PERUBAHAN HARGA JUAL BELI BAB 2

BAB II
KONSEP  AKAD JUAL BELI DALAM ISLAM DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA


Perhubungan antara sesama Manusia merupakan bagian dari syarat yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim. Mengetahui hukum-hukum muamalat sama pentingnya dengan mengetahui hukum-hukum dalam Ibadah, bahkan ada kalanya lebih penting sebab beribadah kepada Allah merupakan hubungan antara Allah dengan pribadi. Adapun muamalat merupakan perhubungan dengan sesama Manusia yang hasilnya akan kembali kepada diri Sendiri dan Masyarakat tempat Ia berada.
Berkenaan dengan hal tersebut, pembahasan tentang muamalat dan penjelasan hukum-hukumnya merupakan sesuatu yang sangat penting dalam agama Islam selanjutnya skripsi ini saya sajikan kepada pembaca dengan judul Perubahan Harga Jual Beli  Tembakau Karena Adanya Bencana Alam  yang disusun secara urut dengan pembahasan yang runtut serta dengan bahasan yang mudah dipahami, jelas maksudnya, dan terang hukum-hukumnya berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits, dan kesepakatan para Mujtahid.



Konsep akad

Pengertian Akad
_Mengikat ( (الر نط yaitu:_

Artinya:
 “Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.” 

Makna ”ar-rabt{u” secara luas dapat diartikan sebagai ikatan antara beberapa pihak. Makna linguistik ini lebih dekat dengan makna istilah fiqh yang bersifat umum, yakni keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu, baik keinginan bersifat pribadi maupun keinginan yang terkait dengan pihak lain.
Pengertian akad secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat Ulama Syafi’iyah Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu:_
كل ما عزم ا لمرء على فعله سواء صدر با رادة منفردة كا لو قف والإبراء والطلا ق واليمين أم احتاج إلى إرادتين فى إنشا ئه كا لبيع والا يجار والتو كيل والر هن.

Artinya: 
“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentuknya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh Ulama Fiqih, antara lain:
إرتبا ط إيجا ب بقبو ل على وجه مشروع يثبت أثره فى محله
Artinya:
“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya,” _
Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih.
Landasan Hukum dan Akibat hukum
Landasan hukum yang digunakan mengenai kebolehan dalam berakad disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Ma>idah ayat 1 dan surat Ali Imron ayat76. Adapun Q.S. al-Ma>idah ayat 1, yang berbunyi: 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (١)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”_

Q.S. Ali Imron ayat 76, yang berbunyi:
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (٧٦)
Artinya: “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”_
Suatu akad dapat dikatakan sempurna apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat. Akan tetapi ada pula akad-akad yang baru sempurna apabila telah dilakukan serah terima obyek akad, tidak cukup hanya dengan ijab dan qabul saja. Akad seperti ini disebut dengan al-’uqu>d al-’ainiyyah. Akad seperti ini ada lima macam, yaitu: hibah, ‘a>riyah (pinjam meminjam), wa>di’ah, qirad{ (perikatan dalam modal), dan rahn (jaminan hutang). Dan setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak- pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal- hal yang dibenarkan syara’. 
Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban di antara pihak yang bertransaksi. Dalam jual beli misalnya, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai hak atau obyek transaksi dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang dan menerima uang sebagai kompensasi barang.

Rukun Akad dan Syarat Umum Akad
 Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:_
 ’Aqi>d ialah orang yang berakad, seperti pihak-pihak yang terdiri dari penjual dan pembeli. 
Ma’qud ’alaih ialah benda- benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli. 
Maud{u’ al-’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. 
Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual dengan diberi ganti. 
S{igat al’aqd  ialah ijab dan qabul, ijab yaitu ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, maka orang tersebut disebut muji>b. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri, maka pelaku qabul disebut qabi>l._
Di samping itu, selain akad mempunyai rukun, setiap akad juga memiliki syarat-syarat yang menyertai rukun. Ada pun syarat-syarat yang menyertai rukun-rukun akad antara lain:_
a. Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidaian) 
Pihak-pihak yang berakad disebut ’aqi>d. Dalam hal jual beli, maka pihak-pihak tersebut adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh ’aqi>d, yakni ia harus memiliki kecakapan dan kepatutan (ahliyah) dan mempunyai hak dan kewenangan (wilayah) yang sesuai syar’i untuk melakukan suatu transaksi.  
b. Obyek akad (al-ma’qud ’alaih) 
Ma’qud ’alaih adalah obyek transaksi, sesuatu di mana transaksi dilakukan di atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu. Ma’qud ’alaih  bisa berupa aset-aset finansial ataupun non finansial. Ma’qud ’alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1) Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan 
2) Obyek transaksi termasuk harta yang diperbolehkan menurut syara’ 
dan dimiliki penuh oleh pemiliknya 
3) Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad  
4) Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.                                           
c. Tujuan Akad (Maud{u’ al-’aqd) 
Substansi akad akan berbeda untuk masing-masing akad yang berbeda. Untuk akad jual beli, substansi akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. 
d. Ijab Qabul (S{igat al-’aqd) 
S{igat al-’aqd ini diwujudkan melalui ijab dan qabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, para ulama mensyaratkan: 
Tujuan yang terkandung dalam pernyataan ijab qabul jelas 
Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian. Artinya terdapat kesamaan 
Di antara keduanya tentang kesepakatan, maksud dan obyek transaksi. 
Adanya pertemuan antara ijab dan qabul (berurutan). Artinya ijab qabul dilakukan dalam satu majelis. Akan tetapi satu majelis tidak harus bertemu secara fisik dalam satu tempat.    

Syarat Dalam Akad
Sarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai dengan ijab dan qabul, Namun demikian, dalam ijab-qabul terdapat tiga syarat. Pertama, ahli akad. Kedua, qabul harus sesuai dengan ijab. Ketiga. Ijab dan qabul harus bersatu. Dan yang keempat, Syarat Sigat.
Menurut Ulama Hanafiah seorang Anak yang berakal dan mumayyiz dapat menjadi ahli akad, Ulama Malikiyah dan Hanabilah perpendapat bahwa akad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya, adapun pendapat Ulama Syfi’iyah anak mumayyiz yang belum baligh tidak dibolehkan melakukan akad sebab ia belum dapat menjaga agama dan hartanya ( masih bodoh )
   Allah berfirman
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (٥)
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, ( harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu)yang di jadikan Allah sebagai pokok kehidupan QS. An-Nisa’:5_
Disyaratkan dalam ijab dan kabul yang keduanya disebut sigat akad, sebagai berikut:
Pertama, satu sama lainnya berhubungan di satu tempat tanpa ada pemisahan yang merusak. Kedua, ada kesepakatan ijab dan kabul pada barang yang saling mereka rela berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika sekiranya kedua belah pihak tidak sepakat, jual beli (akad) dinyatakan tidak sah. Seperti jika si penjual mengatakan: “Aku jual kepadamu baju ini seharga lima pound”, dan si penjual mengatakan: “Saya terima barang tersebut dengan harga empat pound”, maka jual beli dinyatakan tidak sah. Karena ijab dan kabul berbeda. Ketiga, ungkapan harus menunjukkan masa lalu (ma<d}i) seperti perkataan penjual: aku telah jual dan perkataan pembeli: aku telah terima, atau masa sekarang (mud}a<ri’) jika yang diinginkan pada waktu itu juga. Seperti: aku sekarang jual dan aku sekarang beli.
Jika yang diinginkan masa yang akan datang atau terdapat kata yang menunjukkan masa datang dan semisalnya, maka hal itu baru merupakan janji untuk berakad. Janji untuk berakad tidak sah sebagai akad sah, karena itu menjadi tidak sah secara hukum._ Dan yang keempat keadaan ijab dan qabul berhubungan artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama. _

Objek Akad
Pertama, ma’qud alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang tidak atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang belum tampak atau jual beli anak hewan yang masih dalam kandungan. Kedua, Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan  dan disimpan. Ketiga, benda tersebut milik sendiri. Dan yang keempat, dapat diserahkan._
Syarat Pelaksanaan Akad ( Nafadz)
Dalam pelaksanaan akan ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara

Syarat Sah Akad
Segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak akad keabsahan akad, jika tidak terpenuhi akad tersebut rusak, menurut Ulama’ Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu bodoh, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadaratan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid)

Pembagian dan Sifat Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang tiap macamnya sangat bergantung pada unsur pandangannya. Di antara bagian akad yang terpenting adalah berikut ini._
Berdasarkan ketentuan syara’:
Pertama akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah Ulama Hanafiyah, akad sahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syariat pada asalnya dan sifatnya.
Kedua, akad tidak sahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur Ulama selain Hanafiyah menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan Ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dan batal. Pembagian akad dapat dilihat dari berbagai segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akan terbagi menjadi dua, yaitu:_
 Akad s}ahi>h, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, serta dibenarkan oleh syara’ atau sesuai dengan ’urf (kebiasaan). Hukum dari akad s}ahi>h ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pagi pihak- pihak yang berakad.  
Akad fas}id, yaitu akad yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam akad s}ahi>h. Dalam arti, akad yang tidak sesuai dengan rukun dan syarat, tidak ada nas{ atau tidak sesuai dengan ’urf, dan tidak memberikan manfaat. 
Akad bat}il, yaitu akad yang tidak memenuhi kriteria s}ahi>h, dan tidak memberikan nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya. Akan tetapi, malah menimbulkan dampak negatif bagi salah satu pihak.
Berdasarkan Penamaannya_
Akad yang telah dinamai syara’, seperti jual beli. Hibah, gadai, dan lain-lain
Akad yang belum dinamai syara’, seperti disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan Maksud dan Tujuan Akad antara lain:
Kepemilikan, menghilangkan kepemilikan, kemutlakan, yaitu mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya, perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti orang gila, 
Berdasarkan Zatnya
Benda yang berwujud ( al-‘ain)
Benda tidak berwujud ( ghair al-‘ain)

Akad Berakhir
Suatu akad dapat berakhir apabila memenuhi persyaratan berikut ini:_
Berakhirnya masa berlaku akad, apabila akad memiliki tenggang waktu. 
Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat. 
Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad bisa dianggap berakhir jika; Jual beli itu fas}ad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi kedua, berlakunya khiyar syarat, khiyar ’aib atau khiyar rukyah dan yang ketiga akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
Akad dapat berakhir dengan pembatalan , meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad mauquf ( ditangguhkan ) akad habis dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan, telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan, dan lain-lainnya seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan barang adapun pembatalan akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut:
Ketika akad rusak
Adanya khiyar
Pembatalan akad
Tidak mungkin melaksanakan akad
Masa akad berakhir

Hukum Bai’ ( ketetapan ) Beserta Pembahasan Barang dan Harga
Hukum ( ketetapan ) Akad
Hukum akad adalah tujuan dari akad. Dalam jual beli, ketetapan akad adalah menjadikan barang milik pembeli dan menjadikan harga atau uang menjadi milik penjual. 
Secara mutlak hukum akad dibagi menjadi tiga bagian: pertama, dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Kedua, dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan yaitu sah, luzum, dan tidak luzum , seperti pernyataan “ akad yang sesuai dengan rukun dan syaratnya desebut sahih lazim. Dan yang ketiga, dimaksud sebagai dampak tasharruf syara’ seperti wasiat yang memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik bagi orang yang diberi wasiat maupun orang atau benda yang diwasiatkan._
Tsaman ( Harga) dan Mabi’ ( Barang Jualan )
Pengertian harga dan mabi’ Secara umum, mabi’ مايتعين بالتعيين adalah perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan. Sedangkan pengertian harga secara umum  ماليتعين بالتعيين adalah perkara tidak tentu dengan ditentukan 
Menurut imam Siyafi’i dan Jakfar berpendapat bahwa harga dan mabi’ termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi artinya satu, perbedaan di antara keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf ba ( dengan )_
Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan penukaran barang yang diridhai oleh kedua belah pihak yang akad.
 Syarat Harga 
Terdapat tiga syarat di dalam harga. Pertama, harga yang disepakati antara kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. Kedua, dapat diserahkan pada saat waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit dan apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang) maka waktu pembayarannya harus jelas. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ...... (٢٨٢)

wahai orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menulisnya.

Dan yang ketiga, apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’._
Syarat Barang 
Adapun di dalam barang yang dijual belikan haruslah memenuhi sarat sebagai berikut. Pertama, suci atau mungkin untuk disucikan sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi dan yang lainnya, Rasul bersabda: 
عَنْ جَابِرْ رَضِى اللهُ عَنْهُ عن رسول الله صلى الله عليه قال ان الله ورسوله حُرِمَ بَيْعُ الخَمْرٌ وَالمَيْتَةَ والخِنْزِيرِ وَاْلأَصْنَامِ) رواه البخار و المسلم وسلم 
Dari Jabir ra dari Rasulallah SAW bahwa Ia bersabda sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi dan berhala. (HR. al Bukhari dan Muslim)_

Menurut riwayat lain dari Nabi dinyatakan kecuali anjing untuk berburu boleh diperjual belikan menurut Syafi’iyah sebab keharuman arak, bangkai, anjing, dam babi, karena najis berhala bukan karena najis tetapi karena tidak ada manfaatnya menurut syara’ batu berhala jika dipecah-pecah menjadi batu biasa boleh dijual sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau yang lainnya.
 Abu Hurairah, Thawaus, dan Mujahid berpendapat bahwa kucing haram diperdagangkan. Alasannya h}adis| s}ah}ih yang melarangnya, Jumhurul Ulama’ membolehkan selama kucing tersebut bermanfaat. Kedua,  memberi manfaat menurut syara’ maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’ seperti menjual babi, kalajengking, cicak dan yang lainnya. Ketiga, Jangan ditaklikkan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal yang lain seperti jika Ayahku pergi Aku jual motor ini kepadamu.
 Keempat, tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan Aku jual motor ini kepada Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual beli merupakan salah satu sebab kepemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali tujuan syara’. Kelima, dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi.
 Barang-barang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, tidak diketahui dengan pasti ikan tersebut sebab dalam kolam tersebut terdapat ikan-ikan yang sama. Keenam, milik sendiri, tidaklah sah menjual barang-barang orang lain dengan tidak seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
 Dan yang ketujuh, diketahui, barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukurannya maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak._
Perbedaan mabi’ dan harga
Secara umum uang dalah harga sedangkan barang yang dijual adalah mabi’ Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’ dan penukarannya adalah harga.
Ketetapan mabi’dan harga
Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ antara lain. Pertama, mabi’ disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian. Kedua, mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian. Ketiga, Tidak boleh mendahulukan harga pada jual beli pesanan, sebaliknya mabi’ harus didahulukan. 
Kelima, orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli, sedangkan yang bertanggung jawab atas barang adalah penjual. Kelima, menurut Ulama’ Hanifiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa menyebut mabi’ adalah batal. Keenam, mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bilangan harga rusak sebelum penyerahan adalah , tidak batal. 
Ketujuh, tidak boleh  tasarruf atas barang yang belum diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk tasarruf sebelum menerima. Kedelapan, hukum atas mabi’ dan harga rusak serta harga yang tidak laku. Dan yang kesembilan, perubahan harga yang telah disepakati
jika telah dicapai kesepakatan antara penjual dan pembeli kemudian mereka berselisih mengenai besarnya harga , sedang saksi-saksi tidak ada maka pada garis besarnya para fuqaha amshar bersepakat bahwa saling bersumpah dan membatalkan, Tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam hal rinciannya, yakni tentang waktu untuk bersumpah dan membatalkanya.
Abu Hanifah dan segolongannya Fuqaha berpendapat bahwa kedua belah pihak saling bersumpah dan membatalkan selama barang dagangan belum habis. Jika sudah habis, maka yang menjadi pegangan adalah ucapan pembeli  yang disertai sumpah.
Syafi’i dan Muhamad bin Al-Hasan ( pengikut Abu Hanifah) serta Asyhab ( pengikut Malik) berpendapat bahwa kedua belah pihak saling bersumpah setiap waktu.
Dari Malik ada dua riwayat yang pertama, kedua belah pihak saling bersumpah dan membatalkan , sebelum penerimaan barang. Akan halnya sesudah penerimaan barang yang dipegangi adalah ucapan pembeli sedang riwayat yang kedua sama dengan pendapat abu hanifah riwayat pertama dan ibnul qasim, sedang riwayat kedua dari asyhab.
Menurut Malik barang dianggap habis seiring dengan terjadinya perubahan tempat berjualan dan dengan terdapatnya penambahan atau pengurangan pada barang
Menurut Dawud dan Abu Tsaur yang dipegang dalam semua keadaan adalah ucapan pembeli Zufar juga berpendapat demikian kecuali jika kedua belah pihak berselisih mengenai jenis harga. Dalam keadaan seperti ini terjadilah saling membatalkan dan saling bersumpah _
Perselisihan antara Penjual dan Pembeli
Jika penjual mengingkari dakwaan si pendakwa, maka terlarang pengingkarannya itu pada keberadaan cacat, atau ia mengingkar terjadinya cacat itu di tangannya, jika ia mengingkari keberadaan cacat pada barang yang dijual, maka jika cacat tersebut dapat diketahui oleh semua orang dengan pandangan yang sama , maka cukup dihadapkan dua orang saksi yang adil dari sembarang orang lalu jika cacat tersebut hanya bisa diketahui oleh orang-orang ahli yang berkedudukan sebagai saksi, maka dalam satu pendapat disebutkan bahwa untuk itu dibutuhkan dua orang yang adil sedang menurut pendapat lainnya tidak disyaratkan keadilan, bilangan, ataupun keislamannya._
Begitu pula jika kedua belah pihak berselisih tentang apakah cacat itu berpengaruh terhadap harga atau terjadinya cacat itu sebelum masa jual beli atau sesudahnya jika pembeli tidak mempunyai saksi maka penjual bersumpah bahwa cacat tersebut tidak terjadi di tangannya, jika ia mempunyai saksi terjadinya catat terhadap barang yang dijual maka ia tidak mewajibkan bersumpah terhadap penjual lalu jika diharuskan mengganti kerugian , maka alasan dalam hal ini ialah bahwa barang tersebut harus dinilai dalam keadaan selamat ( tidak cacat ) juga harus dinilai dalam keadaan cacat kemudian pembeli mengambil kembali selisih nilai antara kedua nilai tersebut.
Jika diharuskan khiyar maka barang tersebut dinilai dengan tiga hal. Yaitu nilai dalam keadaan tidak cacat nilai pada suatu barang tersebut mengalami cacat di tangan penjual. Dan nilai ketika barang tersebut mengalami cacat di tangan pembeli. Jika penjual mengembalikan sebagian harga, maka ia berhak mendapatkan harga selisih antara harga dalam keadaan cacat dengan harga dalam keadaan tidak cacat jika pembeli enggan mengembalikan dan lebih memilih barang, maka penjual mengembalikan selisih antara harga dalam keadaan tidak cacat dengan harga dalam keadaan cacat yang terjadi di tangannya._
Kerusakan barang
Tentang hukum barang yang rusak, baik seluruhnya, sebagian, sebelum akad. Dan setelah akad terdapat beberapa ketentuan. Pertama,  Jika barang rusak sebelum diterima pembeli. Kedua, mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, jual beli batal. Ketiga,  mabi’ rusak oleh pembeli, akad tidak batal, dan pembeli harus membayar. Keempat,  mabi’ rusak oleh orang lain, jual beli tidaklah batal, tetapi pembeli harus khiyar antara membeli dan membatalkan. Kelima, jika barang rusak semuanya setelah diterima pembeli. Keenam, mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, pembeli, atau orang lain, jual beli tidaklah batal sebab barang telah keluar dari tanggungan penjual. Akan tetapi, jika yang merusak orang lain, tanggung jawabnya diserahkan kepada perusaknya. Dan yang ketujuh jika mabik rusak oleh penjual, ada dua sikap:
Jika pembeli telah memegangnya, baik dengan seizin penjual atau tidak, tetapi telah membayar harga, penjual bertanggung jawab
Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum diserahkan , akad batal.
Ulama’ Malikiyah berbeda pendapat bahwa segala kerusakan atas tanggungan pembeli, kecuali dalam lima keadaan. Pertama, jual beli yang tampak. Kedua, barang yang dibeli disertai khiyar. Ketiga, buah-buahan yang dibeli sebelum sempurna, keempat, barang yang di dalamnya berhubungan dengan ukuran. Dan yang kelima jual beli rusak ( fasid)
Ulama Syiafi’iyah_ berpendapat bahwa setiap barang merupakan tanggungan penjual sampai barang tersebut dipegang pembeli.
Ulama Hanabilah_ berpendapat bahwa setiap barang merupakan tanggungan sesuatu yang diukur atau ditimbang, apabila rusak, masih termasuk harta penjual, sedang barang-barang selain itu yang tidak mesti dipegang, sudah termasuk barang pembeli.
Barang rusak sebagian sebelum diterima pembeli
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa pertama, jika rusak sebagian diakibatkan sendirinya, pembeli berhak khiyar ( memilih ) boleh memilih atau tidak. Kedua, jika rusak oleh penjual, pembeli berhak khiyar. Dan yang ketiga, Jika rusak oleh pembeli, jual beli tidak batal
Barang rusak sebagian setelah dipegang pembeli.
Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya atau orang lain. Jika disebabkan oleh pembeli, dilihat dari dua segi, jika dipegang atas seizin penjual;, hukumnya sama seperti barang yang dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, jual beli batal atas barang yang dirusaknya.
Barang rusak diakibatkan Bencana alam
Mengenai bencana dari langit yang menimpa buah seperti dingin, kekurangan air hujan atau kelebihan, dan busuk, dalam mazhab Maliki dinyatakan sebagai “bencana ” tanpa ada perbedaan pendapat. Juga tentang kekurangan air, adapun bencana alam yang menimpa karena perbuatan manusia, sebagai pengikut Malik menganggapnya sebagai bencana alam, sedangkan sebagian lainnya tidak menganggap  demikian. Mereka yang menganggap demikian terbagi menjadi dua pendapat. Sebagian mereka menganggap peristiwa yang pada galibnya terjadi sebagai “ bencana alam “ seperti kerusakan akibat perang. Tetapi tidak menganggap pengambilan pada waktu dini hari( pengambilan panen sebelum waktunya) itu sebagai bencana alam bagaimanapun juga keadaannya 
Fuqaha yang menganggap bencana alam hanya terjadi pada perkara-perkara langit berpedoman pada hadis Nabi Saw.:
  ارأيت إن منع الله الثمرة
Bagaimana pendapatmu , jika Allah menahan buah_
Sedangkan Fuqaha yang menganggap bahwa bencana tersebut juga pada perbuatan-perbuatan manusia menyamakannya dengan perkara-perkara langit.
para Ulama berselisih pendapat dalam hal pengguguran bencana alam terhadap buah-buahan.
Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa bencana alam dapat bisa dijadikan dasar bagi pemutusan perkara . tapi abu hanifah, tsauri, dan syafi’i dalam hal qaul jadidnya, juga al-laits melarangnya._
Fuqaha yang menyatakan bahwa bencana alam bisa dijadikan dasar bagi pemutusan perkara, berpegang pada hadist Jabir R.A bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
مَنْ بَا عَ ثَمْرٌ ا فَأَ صْبْته جَا ئِحَةَ فَلَا يَأْ خُذُ من اخيه شَيْأً عَلَى مَا ذَا يَا خُذُ اَحَدَكُمْ مَالَ اَخِيْهِ
Barang siapa menjual buah, lalu bencana alam menimpa buah itu, maka hendaklah ia tidak mengambil suatu pun dari saudaranya (pembeli). Berdasarkan apa salah seorang di antara kamu mengambil harta saudaranya itu.

Hadis ini dikeluarkan oleh muslim dari jabir r.a
Pegangan lainnya ialah hadis yang juga diriwayatkan oleh Jabir R.A berkata
أَمَرَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اَلِهِ عَالَيْهِ وَسَلّمَ بِوَضِعِ الجَوَائِحِ
Rasulullah SAW, menyuruh untuk menggugurkan bencana alam, (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dengan demikian, pegangan Fuqaha yang membolehkan pengguguran bencana alam ialah kedua hadis riwayat Jabir tersebut. Juga qiyas sybih, lantaran fuqaha mengatakan bahwa buah tersebut adalah barang jualan, yang penjual harus menyempurnakannya, yakni harus menyiraminya hingga sempurna. Karena itu, tanggungan atas buah-buahan tersebut adalah dirinya sepertinya barang-barang jualan lain yang masih butuh penyempurnaan._
Menurut Imam Malik, pembicaraan tentang dasar-dasar bencana alam meliputi empat bahasan. Pertama, harga rusak ditempat sebelum dipegang. Kedua, jika harga berupa uang, akad tidak batal sebab dapat diganti dengan yang lain. Ketiga, jika harga menggunakan barang yang dapat rusak dan tidak dapat diganti waktu itu, menurut Ulama Hanafiyah, akad batal. Keempat, harga tidak berlaku, Ulama Hanafiyah berpendapat, jika uang tidak berlaku sebelum diserahkan kepada penjual, akad batal. Pembeli harus mengembalikan barang penjual atau menggantinya jika rusak.
Dan dari riwayat ialah hadist Abu Sa’id Al-Khuduri yang berkata:
اَجِيْحُ رَجُلُ فِى ثَمَا رَابْتَا عُهَا وَ كَثِرَ رينه فَقَا لَ رَسُوْلَ اللهِ صَلى الله عليه وسلم . تَصْدِقُوْا عليه ,فَتَصَدَقَ عليه فَلَمْ يَبْلُغْ وَفَاءِ دِيْنَهُ فَقَالَ رسول الله صلعم خَذُوامَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ اِلاَذَلِكَ.
Seorang laki-laki mengalami kebangkrutan lantaran buah-buahan yang dibelinya, sehingga iapun tidak  banyak hutangnya maka rasulullah saw, bersabda “ bersedekahlah kamu kepadanya” maka orang itupun diberi sedekah , tetapi tidak mencapai pelunasannya, maka rasulullah saw bersabda, “ ambillah apa yang kamu bisa dapati, dan tiadalah bagimu kecuali itu”

Adapun menurut Abu Yusuf dan Muhammad ( dua orang Sahabat Imam Hanafi), akad tidak batal, tetapi penjual berhak khiyar, baik dengan membatalkan jual beli atau mengambil sesuatu yang sesuai dengan nilai uang yang tidak berlaku tersebut._

Konsep Jual Beli Dalam Islam

Pengertian Jual Beli
Jual  beli  adalah  merupakan  satu  komponen  dari  sistem  mua’malah yang   dipandang  memiliki manfaat   yang sangat besar dalam   lalu lintas perekonomian lslam, yakni terbentuknya masyarakat yang adil dan sejahtera._ Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-tija>rah dan  al-mubadalah_ Sebagaimana  Allah  SWT  berfirman  dalam  surah  Fathir ayat 29._
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
“Mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”_
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:
Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan._
تَمْلِيْكُ عَيْنِ مَالِيَةِ بِمُعَاوَضَةٍ بِاِذْنِ شَرْعِيْ
 “Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan Syara”

Akad jual beli tidak akan terjadi kecuali dengan shighat ( ijab-qabul) baik dengan lisan atau pun dengan tulisan.
مُقَابَالَة مَالَ قَابِلَيْنِ لِلتَّصَرُفِ باِيْجَابِ وَقَبُوْلِ عَلَى الوَجْهِ المَأْذُوْنِ فِيْهِ
Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qobul, dengan cara yang sesuai dengan Syara”._
Adanya barang yang di tukarkan dalam jual beli dengan cara yang di perbolehkan dalam islam.
مَقَابَلَةِ مَالَ بِمَالٍ عَلَى وَجْهِ مَخْصُوْصٍ
“Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan)”._

Pihak yang melakukan transaksi harus saling rela tanpa ada paksaan dari pihak yang lain
مُبَادَلَةٍ مَالَ بِمَالِ عَلَى سَبِيْلِ التَّرَاضِى أَوْ نُقِلَ مِلْكُ بِعَوْضٍ عَلَى الوَجْهِ المَاْذُونِ فِيْهِ
“Penukar benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan”_

 Akad yang  jelas karena merupakan syarat sahnya dalam jual beli
عَقْدِ يَقُوْمً عَلَى أَسَاسِ مُبَادَلَةِ المَالَ بِالْمَالَ ليفيد تُبَادِلَ المِكْيَاتِ عَلَى الدَّوَامِ
“Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap”_

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya, sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati._ Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli, dan bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak Syara’.
Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut Syara’. Benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan ada kalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, ada kalanya tidak dapat di bagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mis|li) dan ada yang menyerupai (qimi) dan yang lain-lainnya. Pengguna harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara’.
Benda-benda itu seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram diperjual-belikan, sehingga jual beli tersebut dipandang batal dan jika dijadikan harga, penukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.
 Dasar Hukum Jual Beli
Al-quran
Surat al baqarah ayat 275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya._

Hadis Nabi
 عنرفاعة بنرافعرضى الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم سئل النبي ص.م اي الكسب أطيب فقال عمل الرجل بيده وكل يبع مبرور
Rifa’ah bin Rafi’i r.a berkata: Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian paling baik, beliau menjawab. Seorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur (Q.S. Al Bazar dan disahkan hakim)_

Maksud mabrur  di atas ialah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
Ijma’:
Ulama' telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai._
 Syarat dan Rukun Jual Beli
Rukun umum dalam perbuatan hukum jual beli ada tiga macam. Pertama, adanya pihak penjual dan pihak pembeli. Kedua, adanya uang dan benda. Dan yang ketiga,  Adanya lafaz} (ijab qabul)_
Adapun rukun jual beli menurut Ulama’ dibedakan menjadi empat macam. Pertama, adanya pihak penjual dan pihak pembeli. Kedua  Adanya uang dan benda. Ketiga, Adanya lafaz} (ijab qabul). Dan keempat Ada nilai tukar pengganti barang.
Dalam suatu perbuatan jual beli, ketiga rukun ini hendaklah dipenuhi, sebab jika salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.
Adapun syarat dalam jual beli terdapat empat syarat, yaitu syarat terjadinya akad( in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad ( nafaz), dan syarat hukum ( kemestian ). Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar ( terdapat unsur penipuan ) dan lain-lain_
 Menurut Ulama’ Hanafiyah Persyaratan yang ditetapkan oleh Ulama’ Hanabilah berkenaan dengan syarat jual beli ada dua macam pertama, Syarat terjadinya akad ( In’iqad). Dan yang kedua, syarat aqid (orang yang akad).
Adapun syarat-syarat terhadap kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli tersebut haruslah: pertama. Berakal, agar dia tidak tertipu, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. Yang kedua, dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa) Keduanya tidak mubaz}ir. Dan yang ketiga adalah baliq._ Sebab anak kecil atau belum mumayyiz, di pandang tidak sah kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele dikhawatirkan terjadi unsur penipuan dalam hal jual beli dan para Ulama’ fikih sepakat akan hal itu.
 Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dikategorikan menjadi tiga macam yaitu:
Berdasarkan perbedaan harga jual dan harga beli
Bai’ al-Musa>wamah
  Bai’ at-Tauliyah
Bai’ al-Mura>bah}ah
Bai’ al-Muwa>d}a’ah_
Berdasarkan waktu penyerahan terbagi menjadi tiga macam :
Bai’ al-Muqayyadah 
Bai’ al-Mut}laqah
Berdasarkan jenis barang pengganti terbagi menjadi dua macam: 
Bai’ bi S|aman Ajil
Menjual dengan harga dasar ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati dan dibayar secara kredit.
Bai’ al-Salam
Jual beli di mana salah satu alat tukar diberikan secara langsung dan yang satu ditunda tapi dengan menyebutkan sifat- sifat dan ciri-ciri barang yang dipesan dengan memberikan jaminan._
Ulama’ Hanafiyah menambah jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi dua yaitu:
Jual beli yang s}ah}ih
Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditukarkan, bukan milik orang lain, dan tidak tergantung pada hak khiyarnya lagi.
Jual beli yang bat}il
Jual beli yang bat}il apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, dan pada dasar dan sifatnya tidak disyari’atkan, seperti jual beli bangkai._